senja

Minggu, 17 Mei 2020

Mampir Sebentar.


"Kamu dimana?"
"Dimana saja, yang tidak mungkin disebut tempat nongkrong!"
"Ra, aku kesana ya?"
"Disini bukan tempat untuk nongkrong, minum kopi, atau makan singkong rebus, Mas."
Tidak ada lagi jawaban dari sebrang sana.  

"Ra? Melamun ya?"
"Rara?" Sembari menyenggol lenganku. 
"Huh, iya? Dimas?  Kok disini?"
"Tidak sulit mencarimu ternyata,  Ra. Masih sama dari 1 tahun lalu sampai sekarang, bau obat, dan tempat melamun paling epik. Ya kan,  Ra?"
"Rara, daritadi kok melamun terus, kenapa sih? Lagi mikirin apa, Ra?"
"Ra!! Rara!! Karamel Alaia Putri?!" Dicubit nya lengan tanganku olehnya. 
"Apasih, Mas?"
"Melamun kan?"
"Nggak!  Lagi ngobrol sama sepi!"
"Hahaha. Rara, Rara aneh deh, ngobrol kok sama sepi."
"Ngobrol sama aku aja ya?"
"Pertanyaan kamu salah, Mas. Seharusnya tanya. Aku ngobrolin apa sama sepi?"
"Ya udah deh, aku ganti."
"Rara, baru ngobrolin apa sama sepi?  Kok kayaknya serius banget?"
"Lagi tanya sama sepi, kok betah betahnya hening, sunyi, dingin, seperti ini? Apa ya nggak bosen gitu, apa nggak takut, nanti hilang"
"Ra, ra. Sepi itu ada karena tidak adanya keramaian, Ra. Begitupun sebaliknya. Keramaian ada juga karena sepi tidak ada. Setiap orang punya sepi dan ramai nya sendiri - sendiri.  Ramai sama sepi nggak bisa dijadiin satu, nanti mereka ribut, bingung, sepi udah nyaman sama keberadaan dinginnya, Ramai juga nyaman sama keberadaan riuhnya."
"Sekarang, Dimas tanya deh sama Rara. Rara, lebih suka riuh atau damai?"
"Aku suka riuh yang damai, Mas. Masing - masing dari mereka riuh dengan pikirannya. Disini tempat yang paling ampuh untuk melamun tanpa bosan. Disini tempat menunggu paling berkesan, Mas."
"Menunggu apa, Ra?"
"Menunggu keputusan Dokter, tentang nyawa yang penuh harapan menunggu untuk disambungkan lagi."
"Tapi nggak harus disini juga, Ra. Tempat yang tidak ada bau obat, atau histeris kabar kematian, Ra. Emang Rara nggak mau ganti tempat lain gitu? Kedai kopi, atau taman mungkin?"
"Nggak, takut hilang, takut diculik, Mas." 
"Kan ada aku, aku temani deh, Ra"
"Mau yaa?"
"Nggak!"
"Dicoba dulu deh, kalau asyik, dan cocok sama hatinya Rara, Dimas bakalan temenin Rara terus. 

Hening. 
Dimas, kalau memang kamu bisa nemenin aku hanya untuk melamun, aku yakin 1, 2 tahun kemudian kamu akan bosan.  Keras kepalamu dengan keras kepalaku kurang cocok menjadi satu. Lagipula, Jakarta kota ramai sudah jadi jiwamu!.  

"Rara, masih nunggu apa?  Pulang yuk?  Aku bawa pesawat terbang, kasian parkirannya penuh yuk, Ra?" Sembari menarik tanganku. Mengajakku pergi dari tempat penuh berita itu.  

Rumah sakit, jadi tempat menunggu paling asyik untuk perempuan berambut lurus sebahu itu, unik memang disaat yang lain menunggu di kedai kopi, atau taman, eh Rara malah asik nunggu di Rumah sakit. Karena di rumah sakit, menjadi kabar paling besar Rara nungguin seseorang.  Hati nya. Dunianya. Hilang di rumah sakit ini juga.

"Ra, ada yang harus kamu tahu; tidak semua tokoh yang kamu temui dari judul buku yang berbeda harus punya plot twist yang sama denganmu, harus sama seperti isi otakmu, atau harus sejalan dengan apa maumu. Bisa jadi yang datang hanya sekedar sorai membasuh luka dan meninggalkan pelajaran.  Bisa jadi juga ia menjadi pembawa kebahagiaan untuk masa depan. 

"Jadi, sudah ya. Ikhlaskan Rama.  Lepaskan tentang Jakarta dan Kota mati yang kamu ingini itu."

Aku diam. Benar kata Dimas. Barangkali semesta punya cara lain menyampaikan maksudnya. Semesta memang bekerja tidak terlalu cepat pun tidak terlalu lama, hanya saja berputar sesuai porosnya. Selagi ikhlas hanya terucap dalam bibir. Melupakan akan jadi hal yang tidak bisa dipikir.

Tentang Kepergian Dewa Kejutan.