Bagian 1. Nelangsa
Part 2.
“Mimpi Rere juga sudah hampir selesai mas, janji itu kini tunai,
Rere akan segera menerbitkan…”
Aku tertegun, kalimatku berhenti di ujung. Pandannganku jatuh pada
jari – jari tanganmu yang sedari tadi sibuk tiada henti.
“Cincin mas?”
Kamu terkesiap. Tersadar dari lamunanmu. Seperti tengah menyiapkan
jawaban untuk pertanyaanku. Aku menyadarkanmu pada statusmu saat ini. Cincin
yang melingkar di jari manismu, menjadi sebuah tanda tanya besar untukku.
“Mas sudah walimahan?” Aku melanjutkan ucapanku yang
tertahan dengan nada penuh tekanan.
Lagi, mulutmu membeku, seperti sedang menghindari topik pembahasan
ini. Pembicaraan yang mau tidak mau harus kita bicarakan. Permasalahan yang mau
tidak mau, harus kita rampungkan. Kesalahpahaman yang harus kita luruskan.
“Insya Allah, bulan depan. Mau kirim undangan, Re.”
“Wah, masyaAllah sama siapa mas?”
“Seorang perempuan, Re..”
“Kenapa tidak sekalian bilang makhluk ciptaan Tuhan mas. Lucu
sekali.”
“Teman dari organisasi lain, Re. Alhamdulillah sudah ketemu mbak
Rere disini, bisa jadi bantu – bantu nge ‘MC’ nih..”
Dari ekspresimu, seolah sangat lepas dan bahagia sekali. Seperti
ini adalah kalimat yang sedar tadi ingin kamu ucapkan padaku. Aku masih belum
percaya sama sekali, atau mungkin aku belum menerima. Dan aku, terpaksa harus
bersandiwara: berpura – pura bahwa ini adalah kabar baik yang aku terima dari
mulutmu.
“Kirain mas gak bakalan nikah – nikah, ga nyangka banget rere,
masya Allah mas”
“Yee, gitu amat ngomongnya.”
“Pokoknya gak mau kalah sama mas Bayu. enak aja, tungguin
undangannya meluncur dengan mulus ke rumah mas ya…”
“Emang udah ada calonnya ya, mbak Re?”
“Ya.. ya belumlah mas, hehe.”
Perasaanmu menggebu, aku yakin betul ekspresi bahagiamu ini.
Kurasakan detak jantungku makin tidak karuan. Rasanya seperti ada waktu yang
sedang berhitung mundur, sebentar lagi meledak. Aku tidak punya daya untuk
melanjutkan percakapan denganmu kali ini. Kakiku gemetar. Kuasa pada tubuhku
seperti tidak terkendali dengan baik.
“Tapi akan segera kok mas, tunggu saja ya.. Oh iya mas, aku baru
inget ada janji temu dengan santri – santriku sekarang, hehe”
Tidak, ini hanya alibiku. Ingin sekali segera pergi dari hadapanmu
secepatnya. Rasanya sudah tidak kuat lagi aku berada di hadapanmu. Aku sudah
tidak punya daya untuk bercengkerama dengan lelaki yang sudah memutuskan
pernikahannya.
“Buru – buru sekali mbak Rere, padahal matcha latte kesukaan Rere
masih setengah minum, dan belum dihabiskan”
“Iya mas, sengaja, buru – buru.”
“Jadi habis ini, langsung ke masjid?”
“Iya mas, Rere pergi dulu ya, titip salam juga untuk calonnya mas
Bayu, siapa namanya?”
“Aisha Ayu Salsabila…”
“Iya, Aisha. Semoga lancar ya, mas. Ditunggu undangannya dirumah
ya..”
“Siap, jangan lupa jengukin pohon alpukat di halaman belakang
masjid ya, Re.”
“Udah ya mas, Rere duluan, Assalamu’allaikum.”
Langkahku terburu-buru. Baragkali ini menjadi percakapan terakhir
untuk kita berdua. Adakah sama yang kamu rasakan, mas? Adakah sesal yang
membuncah di dalam hati? Atau harapan yang tiba-tiba pupus, mas?
Tidak, rasanya tidak mungkin. Aku dipaksa melepaskan olehmu,
diperintah untuk melupakan, memaksaku untuk berhenti. Tidak ada kebahagiaan
dalam hatiku, ketika dipaksa mengikhlaskanmu agar kamu hidup lebih bahagia.
Jika ada luka yang paling menyakitkan, itu adalah keterlukaan ditikam oleh
perasaan. Kesalahanku adalah, menaruhmu terlalu dalam di hati.
Maka dari itu, berbahagialah kamu dengan suka cita. Sehingga
menyakitiku hari ini, bukanlah suatu tindakan yang sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar