senja

Rabu, 17 Maret 2021

Cinta Di Ujung Pandang



Bagian 1. Nelangsa

Part 2. 

“Mimpi Rere juga sudah hampir selesai mas, janji itu kini tunai, Rere akan segera menerbitkan…”

Aku tertegun, kalimatku berhenti di ujung. Pandannganku jatuh pada jari – jari tanganmu yang sedari tadi sibuk tiada henti.

“Cincin mas?”

Kamu terkesiap. Tersadar dari lamunanmu. Seperti tengah menyiapkan jawaban untuk pertanyaanku. Aku menyadarkanmu pada statusmu saat ini. Cincin yang melingkar di jari manismu, menjadi sebuah tanda tanya besar untukku.

“Mas sudah walimahan?” Aku melanjutkan ucapanku yang tertahan dengan nada penuh tekanan.

Lagi, mulutmu membeku, seperti sedang menghindari topik pembahasan ini. Pembicaraan yang mau tidak mau harus kita bicarakan. Permasalahan yang mau tidak mau, harus kita rampungkan. Kesalahpahaman yang harus kita luruskan.

“Insya Allah, bulan depan. Mau kirim undangan, Re.”

“Wah, masyaAllah sama siapa mas?”

“Seorang perempuan, Re..”

“Kenapa tidak sekalian bilang makhluk ciptaan Tuhan mas. Lucu sekali.”

“Teman dari organisasi lain, Re. Alhamdulillah sudah ketemu mbak Rere disini, bisa jadi bantu – bantu nge ‘MC’ nih..”

Dari ekspresimu, seolah sangat lepas dan bahagia sekali. Seperti ini adalah kalimat yang sedar tadi ingin kamu ucapkan padaku. Aku masih belum percaya sama sekali, atau mungkin aku belum menerima. Dan aku, terpaksa harus bersandiwara: berpura – pura bahwa ini adalah kabar baik yang aku terima dari mulutmu.

“Kirain mas gak bakalan nikah – nikah, ga nyangka banget rere, masya Allah mas”

“Yee, gitu amat ngomongnya.”

“Pokoknya gak mau kalah sama mas Bayu. enak aja, tungguin undangannya meluncur dengan mulus ke rumah mas ya…”

“Emang udah ada calonnya ya, mbak Re?”

“Ya.. ya belumlah mas, hehe.”

Perasaanmu menggebu, aku yakin betul ekspresi bahagiamu ini. Kurasakan detak jantungku makin tidak karuan. Rasanya seperti ada waktu yang sedang berhitung mundur, sebentar lagi meledak. Aku tidak punya daya untuk melanjutkan percakapan denganmu kali ini. Kakiku gemetar. Kuasa pada tubuhku seperti tidak terkendali dengan baik.

“Tapi akan segera kok mas, tunggu saja ya.. Oh iya mas, aku baru inget ada janji temu dengan santri – santriku sekarang, hehe”

Tidak, ini hanya alibiku. Ingin sekali segera pergi dari hadapanmu secepatnya. Rasanya sudah tidak kuat lagi aku berada di hadapanmu. Aku sudah tidak punya daya untuk bercengkerama dengan lelaki yang sudah memutuskan pernikahannya.

“Buru – buru sekali mbak Rere, padahal matcha latte kesukaan Rere masih setengah minum, dan belum dihabiskan”

“Iya mas, sengaja, buru – buru.”

“Jadi habis ini, langsung ke masjid?”

“Iya mas, Rere pergi dulu ya, titip salam juga untuk calonnya mas Bayu, siapa namanya?”

“Aisha Ayu Salsabila…”

“Iya, Aisha. Semoga lancar ya, mas. Ditunggu undangannya dirumah ya..”

“Siap, jangan lupa jengukin pohon alpukat di halaman belakang masjid ya, Re.”

“Udah ya mas, Rere duluan, Assalamu’allaikum.”

Langkahku terburu-buru. Baragkali ini menjadi percakapan terakhir untuk kita berdua. Adakah sama yang kamu rasakan, mas? Adakah sesal yang membuncah di dalam hati? Atau harapan yang tiba-tiba pupus, mas?

Tidak, rasanya tidak mungkin. Aku dipaksa melepaskan olehmu, diperintah untuk melupakan, memaksaku untuk berhenti. Tidak ada kebahagiaan dalam hatiku, ketika dipaksa mengikhlaskanmu agar kamu hidup lebih bahagia. Jika ada luka yang paling menyakitkan, itu adalah keterlukaan ditikam oleh perasaan. Kesalahanku adalah, menaruhmu terlalu dalam di hati.

Maka dari itu, berbahagialah kamu dengan suka cita. Sehingga menyakitiku hari ini, bukanlah suatu tindakan yang sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar