Cinta Di Ujung Pandang
Bagian 1. Nelangsa
“Perempuan itu semakin diperhatikan semakin risih. Tapi jika saja
perhatian itu hilang darinya maka ia akan merasa kehilangan, dan orang itu
kamu, Re” kata Rinjani.
Yogyakarta, 10
Januari 2021.
Genap lima ratus empat puluh enam hari setelah terakhir kali
perjumpaan kita belum ada kata ‘assalamu’allaikum, Re’ atau sekedar ‘hai’
darimu. Baik aku maupun kamu, sama –
sama bungkam seperti sedang mengatasi banyak
sekali sengatan listrik yang muncul dari dalam hati. Minta untuk segera
diteriakkan rasa perihnya. Kamu yang biasanya banyak bicara dan ceria, kini
mendadak redup tanpa nyala. Tidak ada ekspresi bahagia seperti biasanya, mencoba
menangkap sinyal ekspresi yang biasa kamu lakukan. Ekspresi ceria itu. Sekarang
aku yang mengambil alih.
Tiga puluh lima menit lima puluh lima detik yang kita lewatkan
hanya dengan saling mencuri pandang, dan mulut terkunci. Aku memutuskan
bersuara. Memecah keheningan. Malu, resah, gundah, panik, seperti terbanting
dari ketinggian jarak ribuan kilometer dan segala hal yang bisa dijadikan
sebagai alasan untuk putar balik dan pulang. Pokoknya tidak ada yang bisa
menghalangi, atau alasan untuk lari.
“Masih sibuk ngelapin alpukat, Mas?”
Dinding kebisuan yang sedari tadi kami bangun, akhirnya pecah oleh
nada bercandaku yang agak canggung dan
sangat terkesan bahwa ini pertanyaan yang
dibuat – buat. Semua orang tau itu. Kamu masih sibuk dengan bisnis
alpukat dan kios buahmu yang semakin laris. Tetapi, bukan ini yang ingin aku
ungkapkan, dan bukan ini yang aku ingin untuk kamu dengar. Satu tahun lebih
sejak kebungkamanmu, ini kali pertama aku menyuarakan suara untuk kamu dengar.
Tidak ada banyak hal yang berubah. Rambut ikal, kumis tipis, dan wangi maskulin
tubuhmu, masih sama seperti satu tahun yang lalu. Hanya saja langkah tegap,
yakin khas milikmu berkurang menjadi sedikit ragu, serta tawa ceria berubah
menjadi sekit getir. Kamu menatapku. Tepat di kedua manik mataku. Tatapan teduh
itu, seakan meminta untuk disimpan dan kubawa pulang. Tampaknya kamu memang
sudah terbiasa dengan suasana seperti ini.
“Masih, Re. sudah bukan dua buah alpukat saja, kini sudah menjadi
kiloan alpukat seperti yang sedang kamu lihat sekarang.”
Aku mendengar sambil ber-ohh ria. Aku nyengir dengan senyuman yang
aku buat – buat.
“Apakah kamu masih ingat pada perjanjian kita dengan pohon alpukat
waktu itu, mas?”batinku.
Sudahlah, mau seberapapun abadinyanya perjanjian kita sore itu dibawah pohon
alpukat, tidak akan berarti jika kami berdua sama – sama saling menutup hati.
Lagipula tiga ratus enam puluh enam hari sangat cukup untuk mengikhlaskanmu.
“MasyaaAllah, keren banget, kirain Rere mimpi mas tentang
kedai alpukat tidak akan lanjut karena mas fokus mengajar.”
Kamu tersenyum dengan lembut. Suasana mulai mencair. Aku mulai
terbiasa. Perasaan canggung yang sedari tadi membentengi harus segera diakhiri.
Sapaan mas, yang biasanya terucap ringan di bibir, kali ini
rasanya sangat berat sekali. Terasa asing. Karena beberapa kepergianmu yang membuatku kehilangan.
“Mas Bayu, satu tahun lebih tidak terlihat, kemana saja mas?
Terakhir kali mas follow sosmed Rere, tapi tiba–tiba mas unfollow kenapa?”
Pertanyaan yang sedari tadi minta untuk diteriakkan pun, akhirnya keluar secara
ringan, tanpa beban sedikitpun. Ragu didalam hati pun tiba–tiba hilang gitu
aja.
Tatapan matamu kosong, lurus jauh menusuk pada hatiku. Rasanya
menyengat, seperti ada perasaan yang menyesakkan. Jawaban untuk pertanyaan yang
Aku ajukan mungkin, bila mas berkenan menjawab, akan membuatku mengerti tentang
kepergianmu selama satu tahun terakhir ini. Pertanyaan yang barangkali kamu
jawab, ini akan merobohkan pertahanan dan keyakinanku padamu. Prasangka–prasangka
yang disusun dengan ketulusan mungkin akan berangsur berubah menjadi ragu. Tentang
kamu yang tiba–tiba men-unfollowku. Segala hal yang berhubungan denganmu,
seperti ditutup rapat–rapat oleh Tuhan.
“Menurut Rere, mas kemana?”
“Ke dasar laut mungkin, mencari ikan paus dan saudara –
saudaranya.”
“Salah, mas pergi ke Pluto.”
“Baik, kemarin naik apa ke Pluto?”
“Tebak deh..”
“Mas!”
“Apa mbak Rere?”
“Serius dong, Rere lagi gak kepengen bercanda nih!”
Nadaku meninggi, perasaanku membuncah, rasa penasaranku sepertinya
hampir kalah dengan kesal. Satu tahun berjuang mati – matian untuk segera di
wisuda, agar bisa menikah denganmu mas, justru ditinggal hilang ke Pluto hampir
dua tahun penuh!. Satu tahun berada dibawah bayang – bayang prasangka, banyak
sekali suudzonku tentang menghilangmu. Tentang apa itu kita
seharusnya. Sedangkan kamu justru menganggap enteng semua ini. Dan bodohnya aku
masih asik merengek seperti anak kecil yang kehilangan permen. Kamu itu
sebenarnya tidak mengerti atau pura – pura lupa.
Rasanya masih seperti kemarin kamu menyampaikan kalimat penuh
harapan padaku lewat room chat WA: “Rere, pasti bisa wujudkan semua
mimpi Rere yang salah satunya bisa menerbitkan sebuah buku. Mas sudah tidak
sabar membaca tulisanmu. Jadi menginspirasi untuk semua perempuan ya, Re. Oh,
iya, kuliahnya segera diselesaikan, satu setengah tahun lagi, atau tiga
semester lagi kan? Semangat terus ya… J”
Pesan terakhir sebelum kamu mengambil keputusan untuk, menutup
segala akun yang berhubungan denganku seolah menghindariku, sebelum benang
merah yang ada berubah menjadi “bolah
ruwet” dan sebelum pada akhirnya aku memutuskan jatuh cinta padamu. Kamu
hilang, dan aku kehilangan.
Aku tidak bisa berbuat banyak, karena ketika itu, aku masih belum
siap segala hal untuk menyambut kepergianmu.
Apakah perempuan hanya bisa selalu menunggu? Apakah perempuan hanya
bisa memutuskan apakah lurus atau keriting rambutnya, seram atau damai marahnya,
kasar atau baik lembut tutur katanya? Tidak bisakah seorang perempuan juga
mengungkapkan? Tidak bisakah seorang perempuan juga meminta untuk tetap tinggal
sebagian hatinya? Kurasa kisah cinta tentang Siti Nurbaya sudah usai, semua
masuk pada jaman modern, kenyataannya, padamu, aku hanya mampu duduk diam,
menunggu kepastian, dan merelakan kehilangan.
“Mbak Rere apakabar? Bunda sehat?”
“Mas! Jawab dulu pertanyaan Rere”
“Tidak ada yang perlu dijelaskan, Re. Semuanya cukup dan selesai.”
Kamu kembali diam. Tatapan matamu kosong, perasaan menggebu yang
biasa terpancar dari wajahmu sudah tidak ada. Tarikan nafas berat yang membaur
lamunan, ritme pelan dan terartur, tanpa ampun menggelitik hidungku sampai ke
tenggorokan; tanpa permisi membawa hujan yang terasa lama–berontak dan hadirkan
pilu. Hampir dua tahun penuh aku secara mati – matian menunggu, dan
menyelesaikan segala mimpiku. Sedang kamu dengan sangat entengnya berkata bahwa
tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku menahan diriku sendiri, aku bersabar sedikit
lagi, membujukmu untuk bercerita.
“Lalu, kenapa menghilang, mas?”
“Bagaimana mas harus mulai menjelaskan padamu, Re. Kamu terlalu
keras kepala.”
“Rere hanya ingin, mendengar apa saja yang dilakukan mas selama
hampir dua tahun tanpa kabar ini.” Tanyaku menggebu. Keras kepalaku, belum
pernah kamu babat habis. Aku masih menang dalam hal ini, mas.
“Oke, oke, mas akan cerita tentang hampir dua tahun ini.”
“Hampir dua tahun ini, ada banyak sekali misi penyelamatan yang
harus mas lakukan.”
Kamu mulai bercerita. Dan aku hanya diam tertegun. Menatap dan
mendengarkanmu tanpa mau ada cerita yang terlewat.
“Misi penyelamatan ini berhubungan dengan segala mimpi mas, Re.
Sudah pernah mas ceritakan padamu, tentang segala mimpi untuk tiga tahun
kedepan.” Katamu sambil menatap manik mataku.
“Tapi ini baru dua tahun belum ada, mas”
“Kamu benar, Re. Kamu masih ingat tentang yang kamu katakan waktu
lalu bahwa seharusnya mimpiku tidak mencegahku melanjutkan jalan dakwahku.”
“Masih ingat?”
Aku hanya mengangguk, menyetujui. Padahal belum sama sekali ada
bayangan
“Ternyata, sang Khaliq mengabulkan permintaan mas, lebih cepat dari
target tiga tahun itu, Re.”
“Maksudnya, mas?” tanyaku penasaran.
“Intinya sudah ya mbak Rere, cerita tentang mas sudah selesai.
Sekarang giliran cerita dari mbak Rere.”
“Baik, sekarang Rere yang akan cerita ya..”
“Hampir dua tahun penuh Rere matian matian mengambil program
percepatan mas, dan hari ini Rere selesai yudisium.” Ucapku dengan sangat
semangat.
“Lalu?”
.
.
.
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar