senja

Rabu, 17 Maret 2021


Cinta Di Ujung Pandang

Bagian 1. Nelangsa


“Perempuan itu semakin diperhatikan semakin risih. Tapi jika saja perhatian itu hilang darinya maka ia akan merasa kehilangan, dan orang itu kamu, Re” kata Rinjani.

Yogyakarta, 10 Januari 2021.

Genap lima ratus empat puluh enam hari setelah terakhir kali perjumpaan kita belum ada kata ‘assalamu’allaikum, Re’ atau sekedar ‘hai’ darimu. Baik aku  maupun kamu, sama – sama bungkam seperti sedang mengatasi banyak  sekali sengatan listrik yang muncul dari dalam hati. Minta untuk segera diteriakkan rasa perihnya. Kamu yang biasanya banyak bicara dan ceria, kini mendadak redup tanpa nyala. Tidak ada ekspresi bahagia seperti biasanya, mencoba menangkap sinyal ekspresi yang biasa kamu lakukan. Ekspresi ceria itu. Sekarang aku yang mengambil alih.

Tiga puluh lima menit lima puluh lima detik yang kita lewatkan hanya dengan saling mencuri pandang, dan mulut terkunci. Aku memutuskan bersuara. Memecah keheningan. Malu, resah, gundah, panik, seperti terbanting dari ketinggian jarak ribuan kilometer dan segala hal yang bisa dijadikan sebagai alasan untuk putar balik dan pulang. Pokoknya tidak ada yang bisa menghalangi, atau alasan untuk lari.

“Masih sibuk ngelapin alpukat, Mas?”

Dinding kebisuan yang sedari tadi kami bangun, akhirnya pecah oleh nada bercandaku yang  agak canggung dan sangat terkesan bahwa ini pertanyaan yang  dibuat – buat. Semua orang tau itu. Kamu masih sibuk dengan bisnis alpukat dan kios buahmu yang semakin laris. Tetapi, bukan ini yang ingin aku ungkapkan, dan bukan ini yang aku ingin untuk kamu dengar. Satu tahun lebih sejak kebungkamanmu, ini kali pertama aku menyuarakan suara untuk kamu dengar. Tidak ada banyak hal yang berubah. Rambut ikal, kumis tipis, dan wangi maskulin tubuhmu, masih sama seperti satu tahun yang lalu. Hanya saja langkah tegap, yakin khas milikmu berkurang menjadi sedikit ragu, serta tawa ceria berubah menjadi sekit getir. Kamu menatapku. Tepat di kedua manik mataku. Tatapan teduh itu, seakan meminta untuk disimpan dan kubawa pulang. Tampaknya kamu memang sudah terbiasa dengan suasana seperti ini.

“Masih, Re. sudah bukan dua buah alpukat saja, kini sudah menjadi kiloan alpukat seperti yang sedang kamu lihat sekarang.”

Aku mendengar sambil ber-ohh ria. Aku nyengir dengan senyuman yang aku buat – buat.

“Apakah kamu masih ingat pada perjanjian kita dengan pohon alpukat waktu itu, mas?”batinku. Sudahlah, mau seberapapun abadinyanya perjanjian kita sore itu dibawah pohon alpukat, tidak akan berarti jika kami berdua sama – sama saling menutup hati. Lagipula tiga ratus enam puluh enam hari sangat cukup untuk mengikhlaskanmu.

MasyaaAllah, keren banget, kirain Rere mimpi mas tentang kedai alpukat tidak akan lanjut karena mas fokus mengajar.”

Kamu tersenyum dengan lembut. Suasana mulai mencair. Aku mulai terbiasa. Perasaan canggung yang sedari tadi membentengi harus segera diakhiri.

Sapaan mas, yang biasanya terucap ringan di bibir, kali ini rasanya sangat berat sekali. Terasa asing. Karena beberapa  kepergianmu yang membuatku kehilangan.

“Mas Bayu, satu tahun lebih tidak terlihat, kemana saja mas? Terakhir kali mas follow sosmed Rere, tapi tiba–tiba mas unfollow kenapa?” Pertanyaan yang sedari tadi minta untuk diteriakkan pun, akhirnya keluar secara ringan, tanpa beban sedikitpun. Ragu didalam hati pun tiba–tiba hilang gitu aja.

Tatapan matamu kosong, lurus jauh menusuk pada hatiku. Rasanya menyengat, seperti ada perasaan yang menyesakkan. Jawaban untuk pertanyaan yang Aku ajukan mungkin, bila mas berkenan menjawab, akan membuatku mengerti tentang kepergianmu selama satu tahun terakhir ini. Pertanyaan yang barangkali kamu jawab, ini akan merobohkan pertahanan dan keyakinanku padamu. Prasangka–prasangka yang disusun dengan ketulusan mungkin akan berangsur berubah menjadi ragu. Tentang kamu yang tiba–tiba men-unfollowku. Segala hal yang berhubungan denganmu, seperti ditutup rapat–rapat oleh Tuhan.

“Menurut Rere, mas kemana?”

“Ke dasar laut mungkin, mencari ikan paus dan saudara – saudaranya.”

“Salah, mas pergi ke Pluto.”

“Baik, kemarin naik apa ke Pluto?”

“Tebak deh..”

“Mas!”

“Apa mbak Rere?”

“Serius dong, Rere lagi gak kepengen bercanda nih!”

Nadaku meninggi, perasaanku membuncah, rasa penasaranku sepertinya hampir kalah dengan kesal. Satu tahun berjuang mati – matian untuk segera di wisuda, agar bisa menikah denganmu mas, justru ditinggal hilang ke Pluto hampir dua tahun penuh!. Satu tahun berada dibawah bayang – bayang prasangka, banyak sekali suudzonku tentang menghilangmu. Tentang apa itu kita seharusnya. Sedangkan kamu justru menganggap enteng semua ini. Dan bodohnya aku masih asik merengek seperti anak kecil yang kehilangan permen. Kamu itu sebenarnya tidak mengerti atau pura – pura lupa.

Rasanya masih seperti kemarin kamu menyampaikan kalimat penuh harapan padaku lewat room chat WA: “Rere, pasti bisa wujudkan semua mimpi Rere yang salah satunya bisa menerbitkan sebuah buku. Mas sudah tidak sabar membaca tulisanmu. Jadi menginspirasi untuk semua perempuan ya, Re. Oh, iya, kuliahnya segera diselesaikan, satu setengah tahun lagi, atau tiga semester lagi kan? Semangat terus ya… J

Pesan terakhir sebelum kamu mengambil keputusan untuk, menutup segala akun yang berhubungan denganku seolah menghindariku, sebelum benang merah  yang ada berubah menjadi “bolah ruwet” dan sebelum pada akhirnya aku memutuskan jatuh cinta padamu. Kamu hilang, dan aku kehilangan.

Aku tidak bisa berbuat banyak, karena ketika itu, aku masih belum siap segala hal untuk menyambut kepergianmu.

Apakah perempuan hanya bisa selalu menunggu? Apakah perempuan hanya bisa memutuskan apakah lurus atau keriting rambutnya, seram atau damai marahnya, kasar atau baik lembut tutur katanya? Tidak bisakah seorang perempuan juga mengungkapkan? Tidak bisakah seorang perempuan juga meminta untuk tetap tinggal sebagian hatinya? Kurasa kisah cinta tentang Siti Nurbaya sudah usai, semua masuk pada jaman modern, kenyataannya, padamu, aku hanya mampu duduk diam, menunggu kepastian, dan merelakan kehilangan.

“Mbak Rere apakabar? Bunda sehat?”

“Mas! Jawab dulu pertanyaan Rere”

“Tidak ada yang perlu dijelaskan, Re. Semuanya cukup dan selesai.”

Kamu kembali diam. Tatapan matamu kosong, perasaan menggebu yang biasa terpancar dari wajahmu sudah tidak ada. Tarikan nafas berat yang membaur lamunan, ritme pelan dan terartur, tanpa ampun menggelitik hidungku sampai ke tenggorokan; tanpa permisi membawa hujan yang terasa lama–berontak dan hadirkan pilu. Hampir dua tahun penuh aku secara mati – matian menunggu, dan menyelesaikan segala mimpiku. Sedang kamu dengan sangat entengnya berkata bahwa tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku menahan diriku sendiri, aku bersabar sedikit lagi, membujukmu untuk bercerita.

“Lalu, kenapa menghilang, mas?”

“Bagaimana mas harus mulai menjelaskan padamu, Re. Kamu terlalu keras kepala.”

“Rere hanya ingin, mendengar apa saja yang dilakukan mas selama hampir dua tahun tanpa kabar ini.” Tanyaku menggebu. Keras kepalaku, belum pernah kamu babat habis. Aku masih menang dalam hal ini, mas.

“Oke, oke, mas akan cerita tentang hampir dua tahun ini.”

“Hampir dua tahun ini, ada banyak sekali misi penyelamatan yang harus mas lakukan.”

Kamu mulai bercerita. Dan aku hanya diam tertegun. Menatap dan mendengarkanmu tanpa mau ada cerita yang terlewat.

“Misi penyelamatan ini berhubungan dengan segala mimpi mas, Re. Sudah pernah mas ceritakan padamu, tentang segala mimpi untuk tiga tahun kedepan.” Katamu sambil menatap manik mataku.

“Tapi ini baru dua tahun belum ada, mas”

“Kamu benar, Re. Kamu masih ingat tentang yang kamu katakan waktu lalu bahwa seharusnya mimpiku tidak mencegahku melanjutkan jalan dakwahku.”

“Masih ingat?”

Aku hanya mengangguk, menyetujui. Padahal belum sama sekali ada bayangan

“Ternyata, sang Khaliq mengabulkan permintaan mas, lebih cepat dari target tiga tahun itu, Re.”

“Maksudnya, mas?” tanyaku penasaran.

“Intinya sudah ya mbak Rere, cerita tentang mas sudah selesai. Sekarang giliran cerita dari mbak Rere.”

“Baik, sekarang Rere yang akan cerita ya..”

“Hampir dua tahun penuh Rere matian matian mengambil program percepatan mas, dan hari ini Rere selesai yudisium.” Ucapku dengan sangat semangat.

“Lalu?”

.

.

.

Bersambung..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar