senja

Sabtu, 20 Juni 2020

Denganmu atau tidak Denganmu.


Denganmu, atau tidak denganmu.
Semua sudah harus selesai sekarang. 

Teruntuk, Rama milik semesta. Untuk cerita yang aku janjikan secepatnya selesai, aku menyerah merampungkannya dengan akhir yang bahagia. Ada juga kisah yang berakhiran dengan kalimat selamat tinggal. Karena tidak semua kisah harus  berakhir dengan kecupan atau bahkan pelukan dan juga tentang cerita akhiran Rumah. Karena nyatanya kisah tentang perasaan kupu – kupu tidak dirasakan oleh kedua belah pihak juga kopi yang ku seduh hanya untuk kamu yang singgah bukan sungguh. 

Tapi tunggu sebentar, rasa – rasanya akan sangat tragis jika kita buru buru menceritakan akhir dari perjalanan sebelum menceritakan sepenuhnya awal dari semua ini. Karena nanti pembacanya pasti kebingungan. Pasti nanti aku yang disalahin, kenapa tiba – tiba ceritanya tentang ending? Trus awalnya gimana? Pasti bakalan  banyak pertanyaan dan pernyaatan yang mengarah ke aku, padahal semua ini karena maunya kamu. Kamu pergi terlalu lama. Pergi kemudian datang, menghilang lalu pulang. Kamu berhasil ngebuat cerita yang seharusnya lurus dan baik – baik aja, jadi banyak pertanyaan. Aku bingung, kenapa kamu ngilang gitu aja, karena memang gaada yang salah. Makanya sampai sekarang, kamu masih jadi dewa kejutan. Dulu, kalau kamu hilang, aku berharap kamu hanya bercanda, lalu pulang buat jelasin semuanya.  Tapi ketika kamu kembali, kamu justru membuat cerita ini semakin membingungkan. Sekarang, kesempatan buat jelasin semuanya udah harus di lepasin. Karena semua udah harus selesai.

Mungkin ini terlalu cepat untuk di akhiri, namun sepertinya untuk apa menahan seseorang yang memang sebenarnya ingin pergi? Untuk apa menyelamatkan hari kemarin untuk hari esok yang sebenarnya kita sendiri tidak tau arah mana yang mau kita jalani. 

Tentang kita, sepertinya mau diupayakan bagaimanapun juga, tetap tidak akan menjadi sebuah cerita. Kisah ini sudah harus selesai bahkan sebelum dimulai.  Lagipula, untuk kejutan – kejutan yang sering kamu hadiahkan untukku, tentang; hilang dan –pulangmu, pergi dan –kembalimu. Sudah menjadi suatu hal yang biasa untukku. Kalau boleh meminta, aku tidak pernah ingin dihadiahi seperti ini olehmu. Aku cuma kepengin kamu tetep ada dirumah tanpa harus pergi dan pergi lagi. Tapi, ini adalah sebuah keegoisan. Jadi,  Rama. Denganku, atau tidak denganku, aku percaya pada setiap mimpi dan tanggung jawab yang ada dipundakmu, meskipun se mustahil apapun akhirnya, aku tetap mempercayaimu, dan akan selalu seperti itu. 

Entah lebih menyakitkan mana denganmu atau tidak denganmu, entah lebih menyedihkan mana sakit sendiri atau berdiri bersamamu, dan lebih memilukan yang mana berpisah atau meneruskan perjalanan yang sudah kehilangan arah? Karena ada atau tidaknya kamu, aku sama sama sendirian, sama - sama kesepian. Aku seperti jatuh cinta pada manusia bernyawa tapi mati. Denganmu atau tidak denganmu; aku tetap harus baik - baik saja, kan? 

Aku kira, kita akan pergi ke pelabuhan dan menaiki kapal sama - sama, berlayar hingga jauh sekali dari rumah. Aku kira, kita akan sama – sama tenggelam dan merampungkan cerita bersama dari sejak sajak pertama hingga usai cerita yang ke 365. Nyatanya enggak, aku gak pernah tau bahwa aku berlayar sendiri jauh dari rumah yang bukan kamu nahkodanya. Nyatanya, tentang laut aku tidak pernah benar – benar mengerti, tentang suara desiran ombaknya, tentang kicauan burung yang hendak pulang kerumahnya, atau suara suara bisikan angin yang menusuk ;dingin. 

Tentang kamu, aku banyak gagalnya. Pada corak baju mana yang kamu sukai, pada kopi atau teh hangat yang ingin kau nikmati, Warna - warna mana yang kamu ingini, bagian cerita mana yang ingin kamu dengar, juga bagian kisah mana yang ingin kamu simpan dalam – dalam. 

Pada banyak pertukaran – pertukaran yang aku upayakan pada Tuhan, untuk melakukan sebuah misi penyelamatan; sepertinya cukup. Sudah cukup. Karena menurutmu, tokoh utama dari cerita ini bukan kamu; padahal kalau ga ada kamu, cerita ini gak akan pernah bisa berjalan. Tokoh utamanya seperti sudah kehilangan nyawa duluan. 

Entah mana yang lebih menyakitkan berpisah atau melanjutkan cerita yang kehilangan arah? Aku seperti jatuh cinta pada benda mati. Karena tokoh utama dalam cerita seperti kehilangan nyawa. Mungkin kamu lelah? Kamu sudah menyerah? Tentang kita hanya sudah; dan punah. Karena menyanyangimu, berarti merelakanmu juga, kan? 

Minggu, 17 Mei 2020

Mampir Sebentar.


"Kamu dimana?"
"Dimana saja, yang tidak mungkin disebut tempat nongkrong!"
"Ra, aku kesana ya?"
"Disini bukan tempat untuk nongkrong, minum kopi, atau makan singkong rebus, Mas."
Tidak ada lagi jawaban dari sebrang sana.  

"Ra? Melamun ya?"
"Rara?" Sembari menyenggol lenganku. 
"Huh, iya? Dimas?  Kok disini?"
"Tidak sulit mencarimu ternyata,  Ra. Masih sama dari 1 tahun lalu sampai sekarang, bau obat, dan tempat melamun paling epik. Ya kan,  Ra?"
"Rara, daritadi kok melamun terus, kenapa sih? Lagi mikirin apa, Ra?"
"Ra!! Rara!! Karamel Alaia Putri?!" Dicubit nya lengan tanganku olehnya. 
"Apasih, Mas?"
"Melamun kan?"
"Nggak!  Lagi ngobrol sama sepi!"
"Hahaha. Rara, Rara aneh deh, ngobrol kok sama sepi."
"Ngobrol sama aku aja ya?"
"Pertanyaan kamu salah, Mas. Seharusnya tanya. Aku ngobrolin apa sama sepi?"
"Ya udah deh, aku ganti."
"Rara, baru ngobrolin apa sama sepi?  Kok kayaknya serius banget?"
"Lagi tanya sama sepi, kok betah betahnya hening, sunyi, dingin, seperti ini? Apa ya nggak bosen gitu, apa nggak takut, nanti hilang"
"Ra, ra. Sepi itu ada karena tidak adanya keramaian, Ra. Begitupun sebaliknya. Keramaian ada juga karena sepi tidak ada. Setiap orang punya sepi dan ramai nya sendiri - sendiri.  Ramai sama sepi nggak bisa dijadiin satu, nanti mereka ribut, bingung, sepi udah nyaman sama keberadaan dinginnya, Ramai juga nyaman sama keberadaan riuhnya."
"Sekarang, Dimas tanya deh sama Rara. Rara, lebih suka riuh atau damai?"
"Aku suka riuh yang damai, Mas. Masing - masing dari mereka riuh dengan pikirannya. Disini tempat yang paling ampuh untuk melamun tanpa bosan. Disini tempat menunggu paling berkesan, Mas."
"Menunggu apa, Ra?"
"Menunggu keputusan Dokter, tentang nyawa yang penuh harapan menunggu untuk disambungkan lagi."
"Tapi nggak harus disini juga, Ra. Tempat yang tidak ada bau obat, atau histeris kabar kematian, Ra. Emang Rara nggak mau ganti tempat lain gitu? Kedai kopi, atau taman mungkin?"
"Nggak, takut hilang, takut diculik, Mas." 
"Kan ada aku, aku temani deh, Ra"
"Mau yaa?"
"Nggak!"
"Dicoba dulu deh, kalau asyik, dan cocok sama hatinya Rara, Dimas bakalan temenin Rara terus. 

Hening. 
Dimas, kalau memang kamu bisa nemenin aku hanya untuk melamun, aku yakin 1, 2 tahun kemudian kamu akan bosan.  Keras kepalamu dengan keras kepalaku kurang cocok menjadi satu. Lagipula, Jakarta kota ramai sudah jadi jiwamu!.  

"Rara, masih nunggu apa?  Pulang yuk?  Aku bawa pesawat terbang, kasian parkirannya penuh yuk, Ra?" Sembari menarik tanganku. Mengajakku pergi dari tempat penuh berita itu.  

Rumah sakit, jadi tempat menunggu paling asyik untuk perempuan berambut lurus sebahu itu, unik memang disaat yang lain menunggu di kedai kopi, atau taman, eh Rara malah asik nunggu di Rumah sakit. Karena di rumah sakit, menjadi kabar paling besar Rara nungguin seseorang.  Hati nya. Dunianya. Hilang di rumah sakit ini juga.

"Ra, ada yang harus kamu tahu; tidak semua tokoh yang kamu temui dari judul buku yang berbeda harus punya plot twist yang sama denganmu, harus sama seperti isi otakmu, atau harus sejalan dengan apa maumu. Bisa jadi yang datang hanya sekedar sorai membasuh luka dan meninggalkan pelajaran.  Bisa jadi juga ia menjadi pembawa kebahagiaan untuk masa depan. 

"Jadi, sudah ya. Ikhlaskan Rama.  Lepaskan tentang Jakarta dan Kota mati yang kamu ingini itu."

Aku diam. Benar kata Dimas. Barangkali semesta punya cara lain menyampaikan maksudnya. Semesta memang bekerja tidak terlalu cepat pun tidak terlalu lama, hanya saja berputar sesuai porosnya. Selagi ikhlas hanya terucap dalam bibir. Melupakan akan jadi hal yang tidak bisa dipikir.

Tentang Kepergian Dewa Kejutan.