senja

Rabu, 17 Maret 2021

Cinta Di Ujung Pandang



Bagian 1. Nelangsa

Part 2. 

“Mimpi Rere juga sudah hampir selesai mas, janji itu kini tunai, Rere akan segera menerbitkan…”

Aku tertegun, kalimatku berhenti di ujung. Pandannganku jatuh pada jari – jari tanganmu yang sedari tadi sibuk tiada henti.

“Cincin mas?”

Kamu terkesiap. Tersadar dari lamunanmu. Seperti tengah menyiapkan jawaban untuk pertanyaanku. Aku menyadarkanmu pada statusmu saat ini. Cincin yang melingkar di jari manismu, menjadi sebuah tanda tanya besar untukku.

“Mas sudah walimahan?” Aku melanjutkan ucapanku yang tertahan dengan nada penuh tekanan.

Lagi, mulutmu membeku, seperti sedang menghindari topik pembahasan ini. Pembicaraan yang mau tidak mau harus kita bicarakan. Permasalahan yang mau tidak mau, harus kita rampungkan. Kesalahpahaman yang harus kita luruskan.

“Insya Allah, bulan depan. Mau kirim undangan, Re.”

“Wah, masyaAllah sama siapa mas?”

“Seorang perempuan, Re..”

“Kenapa tidak sekalian bilang makhluk ciptaan Tuhan mas. Lucu sekali.”

“Teman dari organisasi lain, Re. Alhamdulillah sudah ketemu mbak Rere disini, bisa jadi bantu – bantu nge ‘MC’ nih..”

Dari ekspresimu, seolah sangat lepas dan bahagia sekali. Seperti ini adalah kalimat yang sedar tadi ingin kamu ucapkan padaku. Aku masih belum percaya sama sekali, atau mungkin aku belum menerima. Dan aku, terpaksa harus bersandiwara: berpura – pura bahwa ini adalah kabar baik yang aku terima dari mulutmu.

“Kirain mas gak bakalan nikah – nikah, ga nyangka banget rere, masya Allah mas”

“Yee, gitu amat ngomongnya.”

“Pokoknya gak mau kalah sama mas Bayu. enak aja, tungguin undangannya meluncur dengan mulus ke rumah mas ya…”

“Emang udah ada calonnya ya, mbak Re?”

“Ya.. ya belumlah mas, hehe.”

Perasaanmu menggebu, aku yakin betul ekspresi bahagiamu ini. Kurasakan detak jantungku makin tidak karuan. Rasanya seperti ada waktu yang sedang berhitung mundur, sebentar lagi meledak. Aku tidak punya daya untuk melanjutkan percakapan denganmu kali ini. Kakiku gemetar. Kuasa pada tubuhku seperti tidak terkendali dengan baik.

“Tapi akan segera kok mas, tunggu saja ya.. Oh iya mas, aku baru inget ada janji temu dengan santri – santriku sekarang, hehe”

Tidak, ini hanya alibiku. Ingin sekali segera pergi dari hadapanmu secepatnya. Rasanya sudah tidak kuat lagi aku berada di hadapanmu. Aku sudah tidak punya daya untuk bercengkerama dengan lelaki yang sudah memutuskan pernikahannya.

“Buru – buru sekali mbak Rere, padahal matcha latte kesukaan Rere masih setengah minum, dan belum dihabiskan”

“Iya mas, sengaja, buru – buru.”

“Jadi habis ini, langsung ke masjid?”

“Iya mas, Rere pergi dulu ya, titip salam juga untuk calonnya mas Bayu, siapa namanya?”

“Aisha Ayu Salsabila…”

“Iya, Aisha. Semoga lancar ya, mas. Ditunggu undangannya dirumah ya..”

“Siap, jangan lupa jengukin pohon alpukat di halaman belakang masjid ya, Re.”

“Udah ya mas, Rere duluan, Assalamu’allaikum.”

Langkahku terburu-buru. Baragkali ini menjadi percakapan terakhir untuk kita berdua. Adakah sama yang kamu rasakan, mas? Adakah sesal yang membuncah di dalam hati? Atau harapan yang tiba-tiba pupus, mas?

Tidak, rasanya tidak mungkin. Aku dipaksa melepaskan olehmu, diperintah untuk melupakan, memaksaku untuk berhenti. Tidak ada kebahagiaan dalam hatiku, ketika dipaksa mengikhlaskanmu agar kamu hidup lebih bahagia. Jika ada luka yang paling menyakitkan, itu adalah keterlukaan ditikam oleh perasaan. Kesalahanku adalah, menaruhmu terlalu dalam di hati.

Maka dari itu, berbahagialah kamu dengan suka cita. Sehingga menyakitiku hari ini, bukanlah suatu tindakan yang sia-sia.


Cinta Di Ujung Pandang

Bagian 1. Nelangsa


“Perempuan itu semakin diperhatikan semakin risih. Tapi jika saja perhatian itu hilang darinya maka ia akan merasa kehilangan, dan orang itu kamu, Re” kata Rinjani.

Yogyakarta, 10 Januari 2021.

Genap lima ratus empat puluh enam hari setelah terakhir kali perjumpaan kita belum ada kata ‘assalamu’allaikum, Re’ atau sekedar ‘hai’ darimu. Baik aku  maupun kamu, sama – sama bungkam seperti sedang mengatasi banyak  sekali sengatan listrik yang muncul dari dalam hati. Minta untuk segera diteriakkan rasa perihnya. Kamu yang biasanya banyak bicara dan ceria, kini mendadak redup tanpa nyala. Tidak ada ekspresi bahagia seperti biasanya, mencoba menangkap sinyal ekspresi yang biasa kamu lakukan. Ekspresi ceria itu. Sekarang aku yang mengambil alih.

Tiga puluh lima menit lima puluh lima detik yang kita lewatkan hanya dengan saling mencuri pandang, dan mulut terkunci. Aku memutuskan bersuara. Memecah keheningan. Malu, resah, gundah, panik, seperti terbanting dari ketinggian jarak ribuan kilometer dan segala hal yang bisa dijadikan sebagai alasan untuk putar balik dan pulang. Pokoknya tidak ada yang bisa menghalangi, atau alasan untuk lari.

“Masih sibuk ngelapin alpukat, Mas?”

Dinding kebisuan yang sedari tadi kami bangun, akhirnya pecah oleh nada bercandaku yang  agak canggung dan sangat terkesan bahwa ini pertanyaan yang  dibuat – buat. Semua orang tau itu. Kamu masih sibuk dengan bisnis alpukat dan kios buahmu yang semakin laris. Tetapi, bukan ini yang ingin aku ungkapkan, dan bukan ini yang aku ingin untuk kamu dengar. Satu tahun lebih sejak kebungkamanmu, ini kali pertama aku menyuarakan suara untuk kamu dengar. Tidak ada banyak hal yang berubah. Rambut ikal, kumis tipis, dan wangi maskulin tubuhmu, masih sama seperti satu tahun yang lalu. Hanya saja langkah tegap, yakin khas milikmu berkurang menjadi sedikit ragu, serta tawa ceria berubah menjadi sekit getir. Kamu menatapku. Tepat di kedua manik mataku. Tatapan teduh itu, seakan meminta untuk disimpan dan kubawa pulang. Tampaknya kamu memang sudah terbiasa dengan suasana seperti ini.

“Masih, Re. sudah bukan dua buah alpukat saja, kini sudah menjadi kiloan alpukat seperti yang sedang kamu lihat sekarang.”

Aku mendengar sambil ber-ohh ria. Aku nyengir dengan senyuman yang aku buat – buat.

“Apakah kamu masih ingat pada perjanjian kita dengan pohon alpukat waktu itu, mas?”batinku. Sudahlah, mau seberapapun abadinyanya perjanjian kita sore itu dibawah pohon alpukat, tidak akan berarti jika kami berdua sama – sama saling menutup hati. Lagipula tiga ratus enam puluh enam hari sangat cukup untuk mengikhlaskanmu.

MasyaaAllah, keren banget, kirain Rere mimpi mas tentang kedai alpukat tidak akan lanjut karena mas fokus mengajar.”

Kamu tersenyum dengan lembut. Suasana mulai mencair. Aku mulai terbiasa. Perasaan canggung yang sedari tadi membentengi harus segera diakhiri.

Sapaan mas, yang biasanya terucap ringan di bibir, kali ini rasanya sangat berat sekali. Terasa asing. Karena beberapa  kepergianmu yang membuatku kehilangan.

“Mas Bayu, satu tahun lebih tidak terlihat, kemana saja mas? Terakhir kali mas follow sosmed Rere, tapi tiba–tiba mas unfollow kenapa?” Pertanyaan yang sedari tadi minta untuk diteriakkan pun, akhirnya keluar secara ringan, tanpa beban sedikitpun. Ragu didalam hati pun tiba–tiba hilang gitu aja.

Tatapan matamu kosong, lurus jauh menusuk pada hatiku. Rasanya menyengat, seperti ada perasaan yang menyesakkan. Jawaban untuk pertanyaan yang Aku ajukan mungkin, bila mas berkenan menjawab, akan membuatku mengerti tentang kepergianmu selama satu tahun terakhir ini. Pertanyaan yang barangkali kamu jawab, ini akan merobohkan pertahanan dan keyakinanku padamu. Prasangka–prasangka yang disusun dengan ketulusan mungkin akan berangsur berubah menjadi ragu. Tentang kamu yang tiba–tiba men-unfollowku. Segala hal yang berhubungan denganmu, seperti ditutup rapat–rapat oleh Tuhan.

“Menurut Rere, mas kemana?”

“Ke dasar laut mungkin, mencari ikan paus dan saudara – saudaranya.”

“Salah, mas pergi ke Pluto.”

“Baik, kemarin naik apa ke Pluto?”

“Tebak deh..”

“Mas!”

“Apa mbak Rere?”

“Serius dong, Rere lagi gak kepengen bercanda nih!”

Nadaku meninggi, perasaanku membuncah, rasa penasaranku sepertinya hampir kalah dengan kesal. Satu tahun berjuang mati – matian untuk segera di wisuda, agar bisa menikah denganmu mas, justru ditinggal hilang ke Pluto hampir dua tahun penuh!. Satu tahun berada dibawah bayang – bayang prasangka, banyak sekali suudzonku tentang menghilangmu. Tentang apa itu kita seharusnya. Sedangkan kamu justru menganggap enteng semua ini. Dan bodohnya aku masih asik merengek seperti anak kecil yang kehilangan permen. Kamu itu sebenarnya tidak mengerti atau pura – pura lupa.

Rasanya masih seperti kemarin kamu menyampaikan kalimat penuh harapan padaku lewat room chat WA: “Rere, pasti bisa wujudkan semua mimpi Rere yang salah satunya bisa menerbitkan sebuah buku. Mas sudah tidak sabar membaca tulisanmu. Jadi menginspirasi untuk semua perempuan ya, Re. Oh, iya, kuliahnya segera diselesaikan, satu setengah tahun lagi, atau tiga semester lagi kan? Semangat terus ya… J

Pesan terakhir sebelum kamu mengambil keputusan untuk, menutup segala akun yang berhubungan denganku seolah menghindariku, sebelum benang merah  yang ada berubah menjadi “bolah ruwet” dan sebelum pada akhirnya aku memutuskan jatuh cinta padamu. Kamu hilang, dan aku kehilangan.

Aku tidak bisa berbuat banyak, karena ketika itu, aku masih belum siap segala hal untuk menyambut kepergianmu.

Apakah perempuan hanya bisa selalu menunggu? Apakah perempuan hanya bisa memutuskan apakah lurus atau keriting rambutnya, seram atau damai marahnya, kasar atau baik lembut tutur katanya? Tidak bisakah seorang perempuan juga mengungkapkan? Tidak bisakah seorang perempuan juga meminta untuk tetap tinggal sebagian hatinya? Kurasa kisah cinta tentang Siti Nurbaya sudah usai, semua masuk pada jaman modern, kenyataannya, padamu, aku hanya mampu duduk diam, menunggu kepastian, dan merelakan kehilangan.

“Mbak Rere apakabar? Bunda sehat?”

“Mas! Jawab dulu pertanyaan Rere”

“Tidak ada yang perlu dijelaskan, Re. Semuanya cukup dan selesai.”

Kamu kembali diam. Tatapan matamu kosong, perasaan menggebu yang biasa terpancar dari wajahmu sudah tidak ada. Tarikan nafas berat yang membaur lamunan, ritme pelan dan terartur, tanpa ampun menggelitik hidungku sampai ke tenggorokan; tanpa permisi membawa hujan yang terasa lama–berontak dan hadirkan pilu. Hampir dua tahun penuh aku secara mati – matian menunggu, dan menyelesaikan segala mimpiku. Sedang kamu dengan sangat entengnya berkata bahwa tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku menahan diriku sendiri, aku bersabar sedikit lagi, membujukmu untuk bercerita.

“Lalu, kenapa menghilang, mas?”

“Bagaimana mas harus mulai menjelaskan padamu, Re. Kamu terlalu keras kepala.”

“Rere hanya ingin, mendengar apa saja yang dilakukan mas selama hampir dua tahun tanpa kabar ini.” Tanyaku menggebu. Keras kepalaku, belum pernah kamu babat habis. Aku masih menang dalam hal ini, mas.

“Oke, oke, mas akan cerita tentang hampir dua tahun ini.”

“Hampir dua tahun ini, ada banyak sekali misi penyelamatan yang harus mas lakukan.”

Kamu mulai bercerita. Dan aku hanya diam tertegun. Menatap dan mendengarkanmu tanpa mau ada cerita yang terlewat.

“Misi penyelamatan ini berhubungan dengan segala mimpi mas, Re. Sudah pernah mas ceritakan padamu, tentang segala mimpi untuk tiga tahun kedepan.” Katamu sambil menatap manik mataku.

“Tapi ini baru dua tahun belum ada, mas”

“Kamu benar, Re. Kamu masih ingat tentang yang kamu katakan waktu lalu bahwa seharusnya mimpiku tidak mencegahku melanjutkan jalan dakwahku.”

“Masih ingat?”

Aku hanya mengangguk, menyetujui. Padahal belum sama sekali ada bayangan

“Ternyata, sang Khaliq mengabulkan permintaan mas, lebih cepat dari target tiga tahun itu, Re.”

“Maksudnya, mas?” tanyaku penasaran.

“Intinya sudah ya mbak Rere, cerita tentang mas sudah selesai. Sekarang giliran cerita dari mbak Rere.”

“Baik, sekarang Rere yang akan cerita ya..”

“Hampir dua tahun penuh Rere matian matian mengambil program percepatan mas, dan hari ini Rere selesai yudisium.” Ucapku dengan sangat semangat.

“Lalu?”

.

.

.

Bersambung..


Sabtu, 20 Juni 2020

Denganmu atau tidak Denganmu.


Denganmu, atau tidak denganmu.
Semua sudah harus selesai sekarang. 

Teruntuk, Rama milik semesta. Untuk cerita yang aku janjikan secepatnya selesai, aku menyerah merampungkannya dengan akhir yang bahagia. Ada juga kisah yang berakhiran dengan kalimat selamat tinggal. Karena tidak semua kisah harus  berakhir dengan kecupan atau bahkan pelukan dan juga tentang cerita akhiran Rumah. Karena nyatanya kisah tentang perasaan kupu – kupu tidak dirasakan oleh kedua belah pihak juga kopi yang ku seduh hanya untuk kamu yang singgah bukan sungguh. 

Tapi tunggu sebentar, rasa – rasanya akan sangat tragis jika kita buru buru menceritakan akhir dari perjalanan sebelum menceritakan sepenuhnya awal dari semua ini. Karena nanti pembacanya pasti kebingungan. Pasti nanti aku yang disalahin, kenapa tiba – tiba ceritanya tentang ending? Trus awalnya gimana? Pasti bakalan  banyak pertanyaan dan pernyaatan yang mengarah ke aku, padahal semua ini karena maunya kamu. Kamu pergi terlalu lama. Pergi kemudian datang, menghilang lalu pulang. Kamu berhasil ngebuat cerita yang seharusnya lurus dan baik – baik aja, jadi banyak pertanyaan. Aku bingung, kenapa kamu ngilang gitu aja, karena memang gaada yang salah. Makanya sampai sekarang, kamu masih jadi dewa kejutan. Dulu, kalau kamu hilang, aku berharap kamu hanya bercanda, lalu pulang buat jelasin semuanya.  Tapi ketika kamu kembali, kamu justru membuat cerita ini semakin membingungkan. Sekarang, kesempatan buat jelasin semuanya udah harus di lepasin. Karena semua udah harus selesai.

Mungkin ini terlalu cepat untuk di akhiri, namun sepertinya untuk apa menahan seseorang yang memang sebenarnya ingin pergi? Untuk apa menyelamatkan hari kemarin untuk hari esok yang sebenarnya kita sendiri tidak tau arah mana yang mau kita jalani. 

Tentang kita, sepertinya mau diupayakan bagaimanapun juga, tetap tidak akan menjadi sebuah cerita. Kisah ini sudah harus selesai bahkan sebelum dimulai.  Lagipula, untuk kejutan – kejutan yang sering kamu hadiahkan untukku, tentang; hilang dan –pulangmu, pergi dan –kembalimu. Sudah menjadi suatu hal yang biasa untukku. Kalau boleh meminta, aku tidak pernah ingin dihadiahi seperti ini olehmu. Aku cuma kepengin kamu tetep ada dirumah tanpa harus pergi dan pergi lagi. Tapi, ini adalah sebuah keegoisan. Jadi,  Rama. Denganku, atau tidak denganku, aku percaya pada setiap mimpi dan tanggung jawab yang ada dipundakmu, meskipun se mustahil apapun akhirnya, aku tetap mempercayaimu, dan akan selalu seperti itu. 

Entah lebih menyakitkan mana denganmu atau tidak denganmu, entah lebih menyedihkan mana sakit sendiri atau berdiri bersamamu, dan lebih memilukan yang mana berpisah atau meneruskan perjalanan yang sudah kehilangan arah? Karena ada atau tidaknya kamu, aku sama sama sendirian, sama - sama kesepian. Aku seperti jatuh cinta pada manusia bernyawa tapi mati. Denganmu atau tidak denganmu; aku tetap harus baik - baik saja, kan? 

Aku kira, kita akan pergi ke pelabuhan dan menaiki kapal sama - sama, berlayar hingga jauh sekali dari rumah. Aku kira, kita akan sama – sama tenggelam dan merampungkan cerita bersama dari sejak sajak pertama hingga usai cerita yang ke 365. Nyatanya enggak, aku gak pernah tau bahwa aku berlayar sendiri jauh dari rumah yang bukan kamu nahkodanya. Nyatanya, tentang laut aku tidak pernah benar – benar mengerti, tentang suara desiran ombaknya, tentang kicauan burung yang hendak pulang kerumahnya, atau suara suara bisikan angin yang menusuk ;dingin. 

Tentang kamu, aku banyak gagalnya. Pada corak baju mana yang kamu sukai, pada kopi atau teh hangat yang ingin kau nikmati, Warna - warna mana yang kamu ingini, bagian cerita mana yang ingin kamu dengar, juga bagian kisah mana yang ingin kamu simpan dalam – dalam. 

Pada banyak pertukaran – pertukaran yang aku upayakan pada Tuhan, untuk melakukan sebuah misi penyelamatan; sepertinya cukup. Sudah cukup. Karena menurutmu, tokoh utama dari cerita ini bukan kamu; padahal kalau ga ada kamu, cerita ini gak akan pernah bisa berjalan. Tokoh utamanya seperti sudah kehilangan nyawa duluan. 

Entah mana yang lebih menyakitkan berpisah atau melanjutkan cerita yang kehilangan arah? Aku seperti jatuh cinta pada benda mati. Karena tokoh utama dalam cerita seperti kehilangan nyawa. Mungkin kamu lelah? Kamu sudah menyerah? Tentang kita hanya sudah; dan punah. Karena menyanyangimu, berarti merelakanmu juga, kan? 

Minggu, 17 Mei 2020

Mampir Sebentar.


"Kamu dimana?"
"Dimana saja, yang tidak mungkin disebut tempat nongkrong!"
"Ra, aku kesana ya?"
"Disini bukan tempat untuk nongkrong, minum kopi, atau makan singkong rebus, Mas."
Tidak ada lagi jawaban dari sebrang sana.  

"Ra? Melamun ya?"
"Rara?" Sembari menyenggol lenganku. 
"Huh, iya? Dimas?  Kok disini?"
"Tidak sulit mencarimu ternyata,  Ra. Masih sama dari 1 tahun lalu sampai sekarang, bau obat, dan tempat melamun paling epik. Ya kan,  Ra?"
"Rara, daritadi kok melamun terus, kenapa sih? Lagi mikirin apa, Ra?"
"Ra!! Rara!! Karamel Alaia Putri?!" Dicubit nya lengan tanganku olehnya. 
"Apasih, Mas?"
"Melamun kan?"
"Nggak!  Lagi ngobrol sama sepi!"
"Hahaha. Rara, Rara aneh deh, ngobrol kok sama sepi."
"Ngobrol sama aku aja ya?"
"Pertanyaan kamu salah, Mas. Seharusnya tanya. Aku ngobrolin apa sama sepi?"
"Ya udah deh, aku ganti."
"Rara, baru ngobrolin apa sama sepi?  Kok kayaknya serius banget?"
"Lagi tanya sama sepi, kok betah betahnya hening, sunyi, dingin, seperti ini? Apa ya nggak bosen gitu, apa nggak takut, nanti hilang"
"Ra, ra. Sepi itu ada karena tidak adanya keramaian, Ra. Begitupun sebaliknya. Keramaian ada juga karena sepi tidak ada. Setiap orang punya sepi dan ramai nya sendiri - sendiri.  Ramai sama sepi nggak bisa dijadiin satu, nanti mereka ribut, bingung, sepi udah nyaman sama keberadaan dinginnya, Ramai juga nyaman sama keberadaan riuhnya."
"Sekarang, Dimas tanya deh sama Rara. Rara, lebih suka riuh atau damai?"
"Aku suka riuh yang damai, Mas. Masing - masing dari mereka riuh dengan pikirannya. Disini tempat yang paling ampuh untuk melamun tanpa bosan. Disini tempat menunggu paling berkesan, Mas."
"Menunggu apa, Ra?"
"Menunggu keputusan Dokter, tentang nyawa yang penuh harapan menunggu untuk disambungkan lagi."
"Tapi nggak harus disini juga, Ra. Tempat yang tidak ada bau obat, atau histeris kabar kematian, Ra. Emang Rara nggak mau ganti tempat lain gitu? Kedai kopi, atau taman mungkin?"
"Nggak, takut hilang, takut diculik, Mas." 
"Kan ada aku, aku temani deh, Ra"
"Mau yaa?"
"Nggak!"
"Dicoba dulu deh, kalau asyik, dan cocok sama hatinya Rara, Dimas bakalan temenin Rara terus. 

Hening. 
Dimas, kalau memang kamu bisa nemenin aku hanya untuk melamun, aku yakin 1, 2 tahun kemudian kamu akan bosan.  Keras kepalamu dengan keras kepalaku kurang cocok menjadi satu. Lagipula, Jakarta kota ramai sudah jadi jiwamu!.  

"Rara, masih nunggu apa?  Pulang yuk?  Aku bawa pesawat terbang, kasian parkirannya penuh yuk, Ra?" Sembari menarik tanganku. Mengajakku pergi dari tempat penuh berita itu.  

Rumah sakit, jadi tempat menunggu paling asyik untuk perempuan berambut lurus sebahu itu, unik memang disaat yang lain menunggu di kedai kopi, atau taman, eh Rara malah asik nunggu di Rumah sakit. Karena di rumah sakit, menjadi kabar paling besar Rara nungguin seseorang.  Hati nya. Dunianya. Hilang di rumah sakit ini juga.

"Ra, ada yang harus kamu tahu; tidak semua tokoh yang kamu temui dari judul buku yang berbeda harus punya plot twist yang sama denganmu, harus sama seperti isi otakmu, atau harus sejalan dengan apa maumu. Bisa jadi yang datang hanya sekedar sorai membasuh luka dan meninggalkan pelajaran.  Bisa jadi juga ia menjadi pembawa kebahagiaan untuk masa depan. 

"Jadi, sudah ya. Ikhlaskan Rama.  Lepaskan tentang Jakarta dan Kota mati yang kamu ingini itu."

Aku diam. Benar kata Dimas. Barangkali semesta punya cara lain menyampaikan maksudnya. Semesta memang bekerja tidak terlalu cepat pun tidak terlalu lama, hanya saja berputar sesuai porosnya. Selagi ikhlas hanya terucap dalam bibir. Melupakan akan jadi hal yang tidak bisa dipikir.

Tentang Kepergian Dewa Kejutan. 



Selasa, 19 November 2019

Tentang Perjumpaan dan Keterpisahan.

Perjumpaan dan Keterpisahan 


"Assalamu'allaikum"......

Drrrttttttttt......... Dering ponselku bersuara sangat nyaring. Buru - buru kuhampiri dengan melepas setiap pekerjaan yang sedang kulakukan, ku kira akan ada pekerjaan - pekerjaan yang sangat mendesak meminta untuk segera diselesaikan.
Setelah ku lihat ternyata itu notifikasi dari nomor baru, nomor yag tak kusimpan, nomor asing dan nama asing.

"Wa'alaikumussalam Warahmatullah" jawabku, kutunggu lagi seseorang diseberang sana memberi tahu ku tentang siapa Fulan yang mem - Whatsappku.

Akhirnya setelah sekian lama, melupakan bau tubuhnya, suara baritonnya, tubuh jangkungnya. Saat aku sudah siap membuka hati, malah hadir kamu yang aku hindari dan yang pandai mematahkan harti
. Sedang bodohnya aku, ucapan "Assalamu'allaikum" darimu mampu memberi badai dan membuat ingatan yang sudah tenggelam jauh, kembali muncul ke permukaan. Semesta memang bercandanya suka kelewatan.
"Kamu melupakanku, Ann?" tanyanya padaku. Yang benar saja, jatuh cinta selama ini membuatku lupa padamu secepat itu? kamu bercanda?Batinku.

"Ini siapa sih? kok memanggilku Ann?" Tanyaku mengecohnya, padahal aku ingat betul siapa yang biasanya memanggilku nyleneh seperti itu.

"Aku yang menjadi alasanmu membuat cerita tentang rasa rona merah muda di langit sore dan di pipi bulatmu, dan aku juga yang menjadi alasanmu membuat cerita tentang rona gelap di langit mendung, dan hujan di matamu, Ann." Jawabnya dengan meyakinkanku supaya aku mampu menebak siapa dirinya. Huh.. Aku benar - benar sangat malas sekali menghadapi manusia seperti ini. Suka datang tidak tepat pada waktunya, Suka menhilang setelah membuat badai sebesar - besarnya, ini manusia jenis apasih sebenarnya?. batinku memburu.

"Tentang Senja maksudmu?" Jawabku singkat, untuk segera menghindarinya.

"Iya, Ann tentang senja. Coba deh, Ann inget - inget lagi, namaku juga dari kata itu" semakin antusiasnya manusia yang membuatku rapuh dengan setiap rindu yang diciptakannya untuk membalas dendam denganku. Mungkin.

"Siapa? Bilang aja deh, dari pada aku blokir" jawabku.

"Kamu masih suka marah - marah gitu ya, Ann. Jadi takut deh. Yaudah - yaudah aku bilang, ini aku Senjanamu, Ann... Aku pulang!!!" Rasa percaya dirinya ini, semangatnya ini, tentang kepulangannya padaku, Ia kabarkan dengan penuh suka cita, sedang aku yang diseberang sini, menahan runtuh yang seruntuh - runtuhnya. Beneran deh, Manusia planet mana sih, ngeselinnya kok kebangetan.

"Oohh, Senjana. Yaa, pulang saja, kenapa mencariku untuk sekedar pulang?Jawabku malas.

"Anna tidak suka aku kembali ya? Aku pulang, pulang kerumahmu, Ann. I'm back home, Ann. This is my home. Aku pulang kerumah manusia cengeng yang aku rindukan. Ini aku Ann, Senjanamu, Aku sudah pulang, aku di belahan bumi yang sama denganmu" jawabnya.

"Lalu? untuk apa pulang pada manusia cengeng ini? Siapa yang memintamu kembali ke belahan bumi yang aku tinggali?".  Senjana aneh, manusia aneh paling aneh, kenapa sih harus pulag lagi?! Kau tau, Jana, melupakanmu itu harus membutuhkan beratus ratus ribu hari, berjuta - juta jam, memang alay, tapi kenyataannya memang melupakanmu itu sesulit itu, Jana.

"Anna, rindumu masih untukku? Rumahmu masih denganku kan, Ann? Ann? Aku di rumah yang sama yang biasanya kita bicarakan dengan secangkir teh dan beberapa gorengan, Ann. ini aku denganmu, kamu juga masih begitu kan, Ann?" Tanyanya dengan penuh rasa was - was.

"Maaf, Jana. Sepertinya Rumahku bukan denganmu lagi..."


Jumat, 04 Mei 2018

Luka Tentang Keterpisahan

Image result for langkah kaki dalam senja



                 Aku dan Kamu, kita tidak pernah tahu kapan akhirnya waktu akan menghancur leburkan definisi itu, ya "kita", bisa jadi mungkin sebentar lagi. Sebab semua diluar prediksiku. Sebab, merelakan tak pernah sesederhana lambaian tangan. Karna itu pula, seharusnya kita sudah mempersiapkan untuk keterpisahan yang terjadi secara abadi atau justru sekedar membuat debar -debar hati.

                 Pertama kali, mengingat tentang bagaimana pertemuan yang selalu membuatku mengingat segala masa yang pernah kita lalui. Masih sama, kamu, dengan senyum itu, senyum hangat sehangat senja, tatapan itu, lesung pipi itu, hidung bangir itu, rambut ikal itu, dan tatapan teduh milikmu yang biasanya kau gunakan untuk menatapku. Iya, masih sama.  Tetapi bedanya saat ini adalah, kamu bukan dirimu. Bukan milikku lagi. Pandanganmu kosong, bukan lagi aku yang kau banggakan, dimana percaya dirimu itu?

                 Jika diingat 2 tahun yang lalu, sore itu, langit begitu indah. Senja seolah merangkul kita bersama segala kehangatan yang dimilikinya. Kita berada di suatu tempat rahasia, tempat kita biasanya merangkai aksara, lalu tertawa bersama. Hanya dengan senja. Tanpa kopi ataupun gorengan. Kamu bilang, beruntung mengenalku, dan aku beruntung selalu berbahagia denganmu. Sesaat ketika fajar hendak tenggelam dan meninggalkan semburat oranyenya, kau menatapku, kita saling menatap. Tanpa sebuah kata. Dan saat itu juga kita paham betul, bahwa itulah saatnya kami berpisah, ini waktunya untuk kami tak lagi berjalan bersama dan beriringan.

                  Di perjalanan pulang, tiba - tiba saja kau angkat bicara "Ini bukanlah akhir mel, ini adalah awal bagaimana kita mencapai mimpi kita masing - masing." tak terasa air mataku tiba tiba saja turun, kukira itu air hujan, Aku menatap langit, sementara tak ada mendung sebelumnya. "Tak ada tangis mel" Tanganmu terulur menghapus air mataku. Jadi benar, cairan bening ini adalah air mata. Kita tahu bahwa selama ini kita telah saling membahagiakan, telah saling membagi lara. Hingga bahasa yang digunakan dari kita hanyalah bahasa tubuh. Dan ini, indah walau tak bernama.





Minggu, 29 April 2018

senja dan rahasia luka 2

Image result for senja


               Membicarakan tentang bahagia tak pernah ada habisnya. Selalu saja ada rasa luka untuk membicarakannya, misalnya saja tentang memorial memorial yang tiba - tiba terlupakan, terbang hingga jauh, kemudian dipaksa mengingat dan diungkit. Sakit. Hingga akhirnya menimbulkan suka dan sebuah tawa, iyakan? mungkin barangkali ada definisi - definisi bahagia yang lain untukmu. Misal, ketika dia membalas pandanganmu, dan tatapanmu, atau justru dia yang ikut menepuk tanganmu sehingga perasaanmu kepadanya tak menjadi abu - abu? Haha, bisa, setiap orang punya level bahagianya sendiri.

              Seperti aku, yang mendefinisikan bahagia yang terlalu tinggi, seperti senja mungkin, seperti rinduku yang juga kau balas rindu, dan tanganku yang biasa menepuk - nepuk angin tiba-tiba kau ikut membalas. Mugkin. Ya Tuan, kamu itu masih rahasia, si penghangat adzan yang selalu hadir dalam setiap cerita yang penuh luka.

              Andai  aku bisa berbicara di hadapanmu, maka mari kita bicarakan. Kemarilah, biar kubisikkan sesuatu. tentang sesuatu yang kau anggap tabu di hidupmu, tentang rasa yang ada dihatiku. Mungkin saja selalu kau anggap bercanda dan recehan itu. Berhenti.  Tentu saja bukan. ini perasaan, mana mungkin bisa aku memainkan perasaanku sendirian? hm? bagaimana? coba saja, katakan padaku tuan. Ah iya, aku lupa, kau kan patung, bicara "aduh" pun kau tak bisa bagaimana menjawab pertanyaan tentang rasaku? Recehkan?.

              Sampai - sampai aku mempunyai julukan sendiri untukmu, dan kau bahkan tak tahu itu.
Sudahlah ini kelewat dari definisi bahagia. Takutku, justru berujung luka. Tapi tak apa, tenang, senjaku menjamin untuk orang - orang yang patah dan terluka parah. Dan ya tuan, bisakah aku berhenti untuk berjalan dibelakangmu? sebab akupun menginginkan disampingmu, bukan dibelakangmu. Meski senjana selalu menjamin rasa milikku.
.
.
.
.
.
.
.
Tbc? and don't forget to coment babe. 29/04/2018

Senin, 09 April 2018

senja dan rahasia luka



 "Iya, seperti senja. Rinduku mencumbu jingga. Semerah mega sore ini. Kamu pergi begitu saja. Serupa awan oranye yang hilang dan berganti malam. Kamu yang katanya mencari bahagia, nyatanya membawa luka." 

Harusnya kita menjadi dua orang yang bersanding. Tapi semesta membuat kita jadi dua orang asing. Meski aku mencoba bertahan, pada akhirnya kisah kita hanya jadi sebuah kenangan. mungkin benar, kita, bukan sepasang yang ditakdirkan Tuhan. 

Dan kamu jangan tanya mengapa aku bercerita perihal senja. Lucu ya?. Senja itu hanya ada dua kemungkinan jika kau ingin tau. Yang pertama untuk orang yang jatuh lalu mecinta hingga jauh. Kedua untuk orang patah yang hatinya terluka parah. 

Senja itu menggambarkan bagaimana perasaan seseorang yang sebenarnya. Sebagaimana aku yang jatuh dan mencinta hingga jauh, namun lupauntuk melihat kebelakang bahwa arah saya terlalu jauh hingga hati saya patah lalu terluka parah, begitulah. 

Aku pernah mengharapkan sebuah cinta dari seseorang, yang saat pertama kalinya kulihat berbedadari yang lainnya. Dia, iya seorang lelaki sholeh, bahkan ketaatannya itu, mampu membuat saya menangis. Dia itu penikmat kopi. Kupikir lagi pas sekali, kami duduk berdua di tepi halaman rumah dikala senja bersama sebuah kopi, untuk penghangat dinding hati kami, bagaimana? sudah terlihat membahagiakan bukan?. 

Ketika beranngan - angan untuk sesuatu yang indah, pasti satu yang kita pikirkan adalah akhir yang bahagia, dan kita lupa realita. Akhir bahagia itu, hanya ada di cerita - cerita dongeng. Cerita pengantar tidur waktu kecil bukan? 
.
.
.
.
.
.
Tbc. tunggu Part yang kedua ya readers :v